analisis
politik dumping
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Saat ini
banyak sekali Negara-negara yang melakukan politik dumping yaitu menjual barang
keluar negeri lebih murah daripada barang didalam negeri. Hal ini banyak
dilakukan oleh Negara-negara untuk merebut pasar diluar negeri dan mendapatkan
untung yang besar. Sebaliknya bagi Negara pengimpor, Praktek dumping merupakan
praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping
akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam
negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya
jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis
dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak seperti pemutusan hubungan kerja
massal, penggangguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.
Dengan kata lain hakikat dumping sebagai praktek curang.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 “Tuduhan
Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan
Korea Selatan”
1.
Indonesia menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada
negaranya sendiri
2.
Indonesia dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk
1.2.2 Praktek Dumping yang dilakukan
China terhadap Amerika
1. China menjual ban ke Amerika dengan harga yang murah dibanding
harga pasaran di Amerika.
2. China menekan nilai tukar yuan dibawah nilai sebenarnya.
BAB 2
ISI
2.1 Pengertian Dumping
Politik Dumping adalah Suatu kebijakan
yang dilakukan oleh Negara
atau perusahaan
pengekspor kepada Negara atau perusahaan importir, dengan
menjual harga
barang lebih murah di Negara importir daripada dinegaranya
sendiri.
Pengertian dumping dalam konteks
hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional
yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual
barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar
dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk
ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi
dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi
di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih
rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga
jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena
dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Menurut
Jacob Viner, pengamat dan ahli ekonomi dari Kanada mengatakan, dumping ada tiga
bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan dumping yang
bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent, bersifat tidak
tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat.
Yang ketiga, yaitu dumping as persistent, bersifat tetap dan terus
menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk merugikan dan mengandung unsur
dan bersifat sengaja dan direncanakan untuk merebut pangsa pasar produsen
barang sejenis negara tuan rumah. Dan bentuk ketiga inilah yang benar-benar mengancam
produsen dalam negeri.
2.2 Terdapat 5 tipe dumping dari tujuannya:
1. Market Expansion
Dumping
Perusahaan
pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up”
yang lebih rendah
di pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan
yang lebih besar
selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping
Motivasi dumping
jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa
rendah atau tidak
jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi
dari kelebihan
kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3. State Trading
Dumping
Latar belakang dan
motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping
lainnya, tapi yang
menonjol adalah akuisisi.
4. Strategic Dumping
Strategi yang
dilakukan negara pengekspor yang merugikan perusahaan
di negara
pengimpor melalui strategis keseluruhan, baik dengan cara
pemotongan harga
ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk
yang sama ke pasar
negara pengekspor.
5. Predatory
Dumping
Istilah predatory
dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan
tujuan mendepak
pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan
monopoli di pasar
negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini
adalah matinya
perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
2.3 World Trade Organization
Praktek
anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan
internasional guna mewujudkan terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah
diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on
the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang mengikat (binding
tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO
merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan
Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip
tertentu tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang
ada didalamnya adalah :
- Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil),
- Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
- Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards).
WTO dalam
menanggapi masalah dumping memutuskan tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan
Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the Implementation of
Article VI of GATT 1994.
2.4 Cara mengatasi politik dumping
Di Indonesia dibuat Undang-Undang Kepabeanan
(UU No. 10 Tahun 1995) dalam pasal 18, 19 dan 20 untuk mengatur dumping. Dalam
pasal 18 adanya Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor.
Dalam pasal 19 mengatur besar kecilnya Bea Masuk yang dikenakan tersebut sebesar selisih antara nilai normal dengan harga
ekspor dari barang tersebut. Sedangkan pasal 20 mengenai Ketentuan tentang persyaratan
dan tata cara pengenaan Bea Masuk. Dan bea masuk sendiri terbagi atas 2, yaitu:
A. Bea Masuk Anti Dumping
Bea Masuk Anti dumping dikenakan terhadap barang dumping yang
menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Besarnya Bea Masuk Antidumping
adalah setinggi-tingginya sama dengan margin dumping yaitu selisih antara nilai
normal dengan harga ekspor dari barang dumping. Nilai normal adalah harga yang
sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik
negera pengekspor untuk tujuan konsumsi.
B. Bea masuk Imbalan
Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang yang mengandung
subsidi yang menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri Besarnya Bea Masuk
Imbalan adalah setinggi-tingginya sama dengan subsidi neto
Subsidi neto adalah selisih antara subsidi dengan :
a. biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang
dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, dan/atau
b. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti
subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut
Dalam hal importasi barang yang bersangkutan dapat dikenakan
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan secara bersamaan, maka harus
dikenakan salah satu yang tertinggi.
2.5 Terdapat komite yang bertugas untuk menangani politik
dumping
2.5.1 Komite anti Dumping
Untuk
menangani masalah dumping dan imbalan, pemerintah dalam hal ini Menteri
Perindustrian dan Perdagangan membentuk KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA (KADI)
yang beranggotakan unsur Deperindag, Depkeu dan departemen atau lembaga non
departemen terkait lainnya.
2.5.2 Komite tersebut bertugas :
1. Melakukan penyelidikan terhadap Barang yang diduga
sebagai barang
Dumping atau barang
Subsidi
2. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi
3. Mengusulkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea
Masuk Imbalan
4. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan
5. Membuat laporan pelaksanaan tugas.
Tahap
pertama dari proses Anti Dumping adalah penyelidikan oleh Komite Anti Dumping
yang dilaksanakan oleh TIM OPERASIONAL ANTI DUMPING (TOAD) atas barang impor
yang diduga sebagai barang Dumping dan/atau barang mengandung subsidi yang
menyebabkan kerugian. Bagi industri dalam negeri inisiatif untuk melakukan
penyelidikan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif dari komite sendiri atau
karena permohonan industri dalam negeri.
Dalam hal
adanya permohonan dari industri dalam negeri, komite harus memberikan keputusan
menolak atau menerima dan memulai penyelidikan atas permohonan tersebut paling
lama 30 hari sejak diterimanya permohonan tersebut. Keputusan diambil
berdasarkan penelitian atas bukti yang diajukan dan dianggap memenuhi
persyaratan.
Penyelidikan
harus diakhiri dalam waktu 12 bulan sejak keputusan dimulainya penyelidikan,
namun dalam hal tertentu dapat diperpanjang menjadi selama-lamanya 18 bulan.
Dalam hal
terbukti adanya dumping, komite menyampaikan besarnya marjin dumping dan/atau
subsidi netto dan mengusulkan pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk
Imbalan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Menperindag memutuskan
besarnya nilai tertentu untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk
Imbalan yang besarnya sama dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping dan/atau
Subsidi Netto.
Atas dasar
keutusan Menperindag tersebut, Menteri Keuangan menetapkan besarnya Bea Masuk
Antidumping atau Bea Masuk Imbalan. Dalam hal tidak terbukti, komite
menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri Perindustrian dan
Perdagangan.
2.6 Persetujuan Anti Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau
Agreement on the
Implementation of
Article VI of GATT 1994.
Pasal VI GATT memberikan hak kepada pihak pengimpor untuk menerapkan langkah-langkah anti-dumping,
yaitu tindakan terhadap impor suatu produk dengan harga ekspor di bawah
"nilai normal" nya (biasanya harga produk di pasar domestik dari
ekspor negara) kalau impor dumping tersebut menyebabkan kerugian
pada industri dinegara
atau di wilayah
pihak pengimpor. Pasal VI GATT memberikan hak kepada pihak untuk melakukan
langkah-langkah anti-dumping.
2.7 Masalah politik dumping
2.7.1 Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada Sengketa
Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan”
Indonesia
sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari
WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor
ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan
mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean
Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan
tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp
& Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte
Ltd.
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping
mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other
graphic purpose serta carbon
paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Indonesia
untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa
atau Dispute Settlement Mechanism (DSM)
sebagai pihak penggugat utama (main
complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan
yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan
atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping
untuk Korea-Certain Paper Products.
Perumusan masalah:
1.
Indonesia menjual produk kertasnya lebih murah ke Korea Selatan daripada
negaranya sendiri
2.
Indonesia dikenai tuduhan dumping mencangkup 16 jenis produk
Pembahasannya
Indonesia
berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Investigasi anti-dumping juga
harus dihentikan jika fakta dilapangan membuktikan bahwa marjin dumping
dianggap tidak signifikan (dibawah 2% dari harga ekspor). Atau jika volume
impor dari suatu produk dumping sangat kecil atau volume impor kurang dari 3%
dari jumlah ekspor negara tersebut ke negara pengimpor. Tapi investigasi juga
akan tetap berlaku jika produk dumping impor dari beberapa negara pengekspor
secara bersamaan diperhitungkan berjumlah 7% atau lebih.
memang Indonesia melakukan Dumping,
hanya saja Korsel bisa ditetapkan bersalah karena tidak melakukan penelitian
dan penghitungan seperti yang ditetapkan dalam ketentuan WTO sehingga suatu
negara bisa menetapkan Bea Masuk Anti-dumping.
Pada
mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas korsel tidak
dapat memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas
Indonesia dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan
harga di pasar Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi / nilai
substitusi atas produk kertas yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas korsel,
hal ini disebut juga dengan “Like Product”. Karena hal inilah maka produk
kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di Korsel, sedangkan kertas
produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa Korsel menetapkan
BMAD terhadap produk kertas yang masuk dari Indonesia, untuk melindungi produk
dalam negerinya.
Sayangnya Korsel tidak mengikuti ketentuan penetapan Anti-Dumping dalam WTO, untuk melakukan penyelidikan sebelum menetapkan bea anti dumping. Dalam keputusan WTO, Indonesia dimenangkan dalam keputusan panel.
Sayangnya Korsel tidak mengikuti ketentuan penetapan Anti-Dumping dalam WTO, untuk melakukan penyelidikan sebelum menetapkan bea anti dumping. Dalam keputusan WTO, Indonesia dimenangkan dalam keputusan panel.
2.7.2 Praktek
Dumping yang dilakukan China terhadap Amerika
Di Amerika mengalami kenaikan tajam
akan barang – barang impor. Terutama barang – barang yang berasal dari China.
Hal ini disebabkan China melakukan praktek politik dumping terhadap pasar di
Amerika. Terutama dalam barang impor berupa ban yang berasal dari China. Ban
yang berasal dari China ini, harganya di pasaran relatif dibuat lebih murah di
Amerika. Hal ini menyebabkan pengusaha – pengusaha ban di Amerika mengalami
kerugian karena ban yang mereka produksi menjadi kurang laku di pasar. Hal ini
menyebabkan Amerika melakukan tindakan proteksionis untuk melindungi pengusaha
– pengusaha ban yang ada di Negara-nya sendiri. Kebijakan Amerika dengan
menerapkan tarif impor lebih mahal untuk produk barang - barang China. Hal ini
dimulai dengan memberikan tarif tambahan sebesar 35% terhadap ban-ban buatan China
selama satu tahun. Kemudian ditambah dengan tarif impor tambahan sebesar 30%
dan 25% dalam dua tahun ke depan. Amerika juga mencurigai China sengaja menekan
nilai tukar Yuan di bawah nilai yang sebenarnya agar harga ekspor Negara China
menjadi murah.
Penyelesaian
Kebijakan Politik Dumping yang dilakukan China terhadap
Amerika sangat merugikan pengusaha ban di Amerika. Jika ini berlanjut akan
dapat merusak hubungan antar kedua Negara. Oleh karena itu, China sudah
seharusnya menghentikan kebijakan yang dilakukannya tersebut. tersebut. Karena, Amerika juga telah
melakukan kebijakan anti dumping, untuk menutup kerugian yang ditimbulkan,
sehingga praktek yang dilakukan China tidak akan mendapat untung.
2.7.3 Politik Dumping Kertas Yang Dilakukan
Indonesia-Korea
Negara-negara
berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya melalui subsidi atau
kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk memasukkan
industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi
dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha
mendorong industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing
perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia
sebagai Negara berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic
untuk di subsidi khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia.
Dan selain itu, Indonesia juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan
batasan impor, hambatan tariff dan non tariff dan kebijakan lainnya. Sama
seperti negara lainnya, Korea yang ingin saya soroti disini juga menetapkan kebijakan
ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang
menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia.
Sebelum
memasuki pembahasan lebih lanjut perlu kita lihat apa saja yang menjadi
kerangka pemikiran untuk melihat masalah ini.
Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah telah menimbulkan akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten selalu diatas 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250 miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace period.
Begitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan barang mulai dari pulp sampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas fotokopi, dan barang-barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor industri kertas sangat dilindungi terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan
Dalam industri pulp dan kertas campur tangan pemerintah telah menimbulkan akumulasi kekuatan pasar. Konsentrasi pasar untuk kertas industri meningkat dari 37 persen menjadi 90 persen antara 1985 dan 1995, sedangkan rasio konsentrasi untuk pulp, bahan baku utama dari kertas industri, secara konsisten selalu diatas 90 persen. Pelaku pasar tertentu di sektor kertas dan pulp telah mendapat keuntungan yang besar dari perlakukan khusus oleh pemerintah di masa yang lalu. Sebagai contoh, perusahaan kertas PT Kiani Kertas mendapat Rp 250 miliar (US$ 180.70 juta) dari Dana Reboisasi untuk membangun pabrik puld dan kertas dari PT Kiani Lestari Pulp, yang dibukan awal 1997. Pinjaman ini merupakan 20 persen dari investasi total. Bunganya adalah sebesar 6.7 persen dan untuk jangka waktu delapan tahun, termasuk tiga tahun grace period.
Begitu juga kebijakkan pemerintah pada masa orde baru memilih dan mempermudah perusahaan PT Indah Kiat dari Sinar Mas Group menguasai industri kertas dari hulu ke hilir. PT Indah Kiat menguasai hutan industri dan menghasilkan barang mulai dari pulp sampai ke buku tulis, amplop, kertas komputer, kertas fotokopi, dan barang-barang kertas lainnya. Selain itu, dua anak perusahaan Sinar Mas, PT Pindo Deli dan PT Paper Onward Utama, menguasai industri kertas tisu. Dari sini dapat kita lihat bahwa sektor industri kertas sangat dilindungi terhadap persaingan asing dalam bentuk tarif impor; tingkat proteksi efektif untuk barang-barang kertas pada tahun 1995 adalah 41 persen.
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-anggotanya.
Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan
inetrnasional,
prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran
ahli hukum.
Indonesia
merupakan salah satu Negara yang sering menerima tuduhan dumping sejak 2000
sampai Mei 2004 tercatat 102 kasus tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard yang
dituduhkan negara mitra dagang Indonesia. Dari jumlah tersebut pihak Indonesia
berhasil mematahkan 40 kasus, sebanyak 49 kasus dikenakan tuduhan, sebanyak 11
kasus dalam proses dan dua kasus dibatalkan. Dengan berhasil mematahkan tuduhan
dumping, subsidi dan safeguard, Indonesia pada 2003 dapat menyelamatkan devisa
ekspor sebesar 136,2 juta dolar AS.
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yang akan saya soroti adalah kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yang akan saya soroti adalah kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Berdasarkan
pernyataan John H. Jackson dapat disimpulkan bahwa hukum ekonomi internasional
terdiri dari komponen hukum, ekonomi dan tentunya dalam cakupan Internasional.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnyadan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnyadan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Penyelesaian
Masalah
Dumping merupakan masalah ekonomi yang dapat dimasukkan kedalam kasus hukum
ekonomi internasional seperti kasus dumping Korea-Indonesia yang dimenangkan
Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan
sekarang (lihat table hal.5) maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan
pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam
negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan
penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di
dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum
pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara
lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk
kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka
penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai
perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti
melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil
penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan penyelidikan,
pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi mengenai
barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisa tersebut di atas maka praktik
dumping merupakan bagian dari tanggung jawab Hukum Perdagangan Internasional di
bawah kendali WTO. Sanksi yang diberikan apabila terbukti melakukan praktik dumping
dikenakan sanksi berupa BMAD, apabila pihak yang dikenai sanksi keberatan
terhadap BMAD maka dapat mengajukan keberatan ke panel WTO melalui Komisi
Antidumping di DSB (Dispute Settlement Body). Sementara menjual harga di bawah
harga pasar seperti yang dilakukan Negara tersebut dalam kacamata hukum
persaingan akan menghambat adanya persaingan sehat. Praktik dumping dalam
jangka pendek menguntungkan konsumen namun pada jangka panjang akan merugikan
industri pesaing yang memiliki industri barang yang sejenis. Jadi, jika
terdapat Negara yang melakukan dumping maka harus segera ditindak dengan
memberi sanksi, sehingga Negara-negara lain tidak akan berani mengikuti seperti
yang telah dilakukan Negara yang melakukan kebijakan itu.
3.2 Saran
Lembaga
yang berfungsi untuk mengurus masalah-masalah dumping ini, harus lebih ketat
lagi melakukan pengawasan kepada barang-barang dari luar negeri yang masuk,
jika terdapat Negara atau perusahaan yang melakukan dumping maka harus langsung
diberi sanksi berupa BMAD atau BMI kepada Negara atau perusahaan itu, supaya
tidak membuat perusahaan dalam negeri rugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar